Pendidikan Sebagai Kebutuhan Dasar
Eksistensi dan
kelestarian umat Islam sebagai sebuah entitas yang memiliki keyakinan dan
sistem hidup khas ditentukan oleh sejauh mana penjagaan mereka terhadap tsaqafah islamiyyah. Penjagaan umat terhadap tsaqafah islamiyyahbergantung sepenuhnya pada perhatian
mereka terhadap pendidikan umat. Sebab, pendidikan adalah thariqah untuk menjaga tsaqafah
islamiyyah agar tetap lestari di dalam dada kaum Muslim dan lembaran-lembaran karya
ilmiah. Ketika perhatian negara dan umat terhadap pendidikan tsaqafah islamiyyah mulai melemah, pelan namun
pasti umat semakin jauh dari Islam. Akibatnya, umat mengalami
kemunduran hampir di seluruh bidang kehidupan. Keadaan itu semakin
diperparah dengan keberhasilan Barat memasukkan tsaqafah-tsaqafah asing, seperti nasionalisme dan
demokrasi, ke tengah-tengah kaum Muslim. Umat Islam pun semakin
terperosok dalam jurang keawaman terhadap tsaqafah
islamiyyah. Akhirnya, mereka tidak mampu lagi mempertahankan eksistensi hadharah islamiyyah dan Daulah Islam sebagai akibat lemahnya
pemahaman mereka terhadap Islam.
Ketika Daulah Islam
dan peradaban Islam berhasil diruntuhkan oleh Barat, banyak di antara mereka
tidak menyadari apa yang sesungguhnya terjadi. Padahal kehancuran Daulah
Islam dan peradaban Islam adalah musibah terbesar dan awal bagi penderitaan
mereka. Realitas ini menunjukkan bahwa pendidikan tsaqafah islamiyyah merupakan perkara urgen (dlaruri) yang tidak boleh diabaikan oleh kaum Muslim. Negara
Khilafah—yang tidak lama lagi akan berdiri dengan izin Allah SWT—wajib
memperhatikan masalah ini dengan perhatian yang tinggi dan sempurna.
Selain itu, nash-nash
syariah juga telah menetapkan pendidikan sebagai hajah asasiyyah (kebutuhan dasar) yang harus
dijamin ketersediaannya di tengah-tengah masyarakat, seperti halnya keamanan
dan kesehatan. Di antara nash-nash syariah yang menetapkan pendidikan
sebagai hajah asasiyyah adalah sabda Nabi
saw.:
إِنَّ مَثَلَ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ
عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضًا
فَكَانَتْ مِنْهَا طَائِفَةٌ طَيِّبَةٌ قَبِلَتْ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتْ الْكَلَأَ
وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ وَكَانَ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتْ الْمَاءَ فَنَفَعَ
اللهُ النَّاسَ فَشَرِبُوا مِنْهَا وَسَقَوْا وَرَعَوْا وَأَصَابَ طَائِفَةً
مِنْهَا أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً وَلاَ تُنْبِتُ كَلَأَ
فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللهِ وَنَفَعَهُ بِماَ بَعَثَنِيَ اللهُ
بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ
يَقْبَلْ هُدَى اللهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ
Permisalan hidayah dan ilmu yang Allah SWT sampaikan kepada diriku bagaikan
air hujan yang menimpa sebidang tanah. Di antara tanah itu ada tanah baik yang
mampu menyerap air dan menumbuhkan rerumputan serta pepohonan yang sangat
banyak. Di antara tanah itu ada pula tanah liat yang mampu menahan air sehingga
Allah SWT memberikan manfaat kepada manusia dengan tanah tersebut; manusia bisa
meminum air darinya, mengairi kebun-kebunnya dan memberi minum hewan-hewan
ternaknya. Air hujan itu juga menimpa tanah jenis lain, yaitu tanah datar
lagi keras yang tidak bisa menahan air dan menumbuhkan rerumputan.
Demikian-lah, ini adalah perumpamaan orang yang faqih terhadap agama Allah, dan
orang yang bisa mengambil manfaat dari apa-apa yang telah Allah sampaikan
kepada diriku sehingga ia bisa belajar dan mengajarkan (ilmu tersebut kepada
orang lain). Ini juga perumpamaan orang yang menolak hidayah dan ilmu dan tidak
mau menerima hidayah Allah SWT yang dengan itulah aku diutus (HR al-Bukhari dan Muslim).
Di dalam hadis ini
dituturkan bahwa penerimaan dan penolakan manusia terhadap hidayah dan ilmu
diidentikkan dengan sebidang tanah dan air hujan. Air hujan
termasuk hajah asasiyyah bagi manusia, yang
kalau tidak dipenuhi akan menyebabkan kebinasaan bagi manusia. Pengidentikan
ilmu dan hidayah dengan air hujan menunjukkan, bahwa ilmu dan hidayah merupakan hajah asasiyyah sebagaimana air hujan. Riwayat di
atas juga diperkuat hadis-hadis lain, seperti hadis-hadis berikut ini:
إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ
يُرْفَعَ الْعِلْمُ وَيَثْبُتَ الْجَهْلُ
Sesungguhnya di antara tanda-tanda datangnya Hari Kiamat adalah diangkatnya
ilmu dan tersebarnya kebodohan (HR al-Bukhari dan
Muslim).
مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَقِلَّ
الْعِلْمُ وَيَظْهَرَ الْجَهْلُ
Di antara tanda-tanda datangnya Hari Kiamat adalah berkurangnya ilmu dan
tampaknya kebodohan (HR al-Bukhari dan Muslim).
Riwayat-riwayat di
atas menunjukkan bahwa lenyap dan berkurangnya ilmu merupakan madarat (ancaman/bahaya) bagi kehidupan manusia. Madarat ini hanya bisa dihilangkan dengan cara
menyelenggarakan pendidikan berkesinambungan di tengah-tengah masyarakat.
Sebab, ilmu dan hidayah hanya bisa dipelihara dan dijaga ketika keduanya
dipelajari dan diajarkan secara terus-menerus di tengah-tengah
masyarakat. Dengan demikian, hadis-hadis ini semakin meneguhkan
bahwasanya pendidikan merupakan hajah asasiyyah yang harus dijamin
ketersediannya di tengah-tengah masyarakat oleh Negara Khilafah.
Pembiayaan Pendidikan di Negara Khilafah
Di dalam Kitab al-Iqtishadiyyah al-Mutsla disebutkan bahwa
jaminan atas pemenuhan kebutuhan dasar (hajah asasiyyah) bagi seluruh rakyat
seperti pendidikan, keamanan dan kesehatan, berada di tangan
negara. Ketentuan ini didasarkan pada sabda Nabi saw.:
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ
Imam itu adalah pemimpin dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya (HR al-Bukhari).
Atas dasar itu,
Khilafah harus menjamin setiap warga negara dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dasarnya dengan mudah. Dalam konteks pendidikan, jaminan terhadap
pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi seluruh warga negara bisa diwujudkan
dengan cara menyediakan pendidikan gratis bagi rakyat. Negara Khilafah juga
wajib menyediakan fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai
seperti gedung-gedung sekolah, laboratorium, balai-balai penelitian, buku-buku
pelajaran, dan lain sebagainya. Negara Khilafah juga berkewajiban
menyediakan tenaga-tenaga pengajar yang ahli di bidangnya, sekaligus memberikan
gaji yang cukup bagi guru dan pegawai yang bekerja di kantor
pendidikan. Para Sahabat telah sepakat mengenai kewajiban
memberikan ujrah (gaji) kepada
tenaga-tenaga pengajar yang bekerja di instansi pendidikan negara Khilafah di
seluruh strata pendidikan. Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah
menggaji guru-guru yang mengajar anak-anak kecil di Madinah, sebanyak 15 dinar
setiap bulan. Gaji ini beliau ambil dari Baitul Mal.
Seluruh pembiayaan
pendidikan di dalam negara Khilafah diambil dari Baitul Mal, yakni dari pos fai’ dan kharaj serta posmilkiyyah ‘amah. Seluruh pemasukan Negara Khilafah, baik yang dimasukkan
di dalam pos fai’ dan kharaj, serta posmilkiyyah ‘amah, boleh diambil untuk membiayai sektor pendidikan. Jika pembiayaan dari dua
pos tersebut mencukupi maka negara tidak akan menarik pungutan apapun dari
rakyat.
Jika harta di Baitul
Mal habis atau tidak cukup untuk menutupi pembiayaan pendidikan, maka Negara
Khilafah meminta sumbangan sukarela dari kaum Muslim. Jika sumbangan kaum
Muslim juga tidak mencukupi, maka kewajiban pembiayaan untuk pos-pendidikan
beralih kepada seluruh kaum Muslim. Sebab, Allah SWT telah mewajibkan
kaum Muslim untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran wajib—seperti
pendidikan, kesehatan, dan keamanan—ketika Baitul Mal tidak sanggup
mencukupinya. Selain itu, jika pos-pos tersebut tidak dibiayai,
kaum Muslim akan ditimpa kemadaratan. Dalam kondisi seperti
ini, Allah SWT memberikan hak kepada negara untuk memungut pajak (dharibah) dari kaum Muslim. Hanya saja, penarikan pajak dilakukan secara
selektif. Artinya, tidak semua orang dibebani untuk membayar pajak.
Hanya pihak-pihak yang dirasa mampu dan berkecukupan saja yang akan dikenain
pajak. Orang-orang yang tidak memiliki kemampuan finansial yang cukup
dibebaskan dari membayar pajak. Berbeda dengan negara kapitalis, pajak
dikenakan dan dipungut secara tidak selektif. Bahkan orang-orang miskin pun
harus membayar berbagai macam pajak atas pembelian suatu produk atau
pemanfaatan jasa-jasa tertentu.
Selain itu, dharibah (pajak) dalam pandangan syariah Islam adalah pemasukan
yang bersifat pelengkap, bukan sebagai pemasukan utama dalam APBN
Khilafah. Negara hanya akan memungut pajak jika negara berada dalam
keadaan darurat, yaitu ketika harta di Baitul Mal tidak mencukupi.
Sebaliknya, dalam negara kapitalis, pajak dijadikan sebagai sumber penerimaan
utama negara. Di negara-negara sekular-kapitalis, seperti Indonesia,
pemasukan di sektor pajak mencapai kisaran 70-90% dari total pendapatan negara.
Akibatnya, beban pembiayaan masyarakat dan industri semakin meningkat akibat
banyaknya pungutan yang harus mereka tanggung
Walaupun negara adalah pihak
yang paling bertanggung jawab dalam penyediaan dan penyelenggaraan pendidikan
bagi seluruh warganya, bukan berarti individu dilarang menyelenggarakan
pendidikan secara mandiri. Setiap warga negara Khilafah diperbolehkan
mendirikan sekolah, madrasah, pesantren atau lembaga-lembaga pendidikan serta
menarik kompensasi atas jasa yang telah mereka berikan. Mereka juga
diperbolehkan menyusun kurikulum dan mata pelajaran sendiri. Hanya saja,
kurikulum dan mata pelajaran tersebut tidak boleh menyimpang dari akidah dan
syariah Islam. Negara Khilafah mengawasi kurikulum dan mata pelajaran yang
diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan swasta tersebut serta akan menindak
dengan tegas siapapun yang mengajarkan pelajaran-pelajaran yang bertentangan
dengan akidah dan syariah Islam.
0 komentar:
Posting Komentar